Saya pertama kali ke Afrika itu tahun 2014 dan negara Afrika pertama yang saya kunjungi adalah Maroko. Saya dari dulu selalu penasaran dengan Benua Afrika. Benua ini penuh misteri dan sangat eksotis menurut saya. Saya ke Maroko di penghujung kuliah Master saya di Paris. Saya kasih diri saya kado buat ke Afrika karena waktu itu saya mendapat offer S3 dari University of Cambridge dan juga mendapatkan beasiswa Jardine Foundation (yang karena satu dan lain hal saya tidak jadi berangkat S3 ke Cambridge). Anyway, saya ke Maroko saat itu bersama adik kelas saya, anak Indonesia juga, tapi beda angkatan. Dia yang atur semua itinerary nya karena pada saat dia mengatur itinerary, saya sedang mempersiapkan untuk sidang thesis, jadi saya percayakan saja itinerary nya ke dia.
Dari awal dia bilang bahwa kami akan naik low-cost carrier dari Paris ke Marrakesh, tapi terus terang saya lumayan kaget karena itu adalah penerbangan pertama saya dengan pesawat murah. Saya jujur deg-degan karena yang saya bayangkan pesawat seperti itu kualitasnya mungkin seburuk pesawat-pesawat murah di Indonesia. Ternyata selama beberapa jam penerbangan, pesawat-pesawat penerbangan murah lumayan juga kualitasnya. Sesampainya di Marrakesh, sebagai orang Indonesia, saya senang sekali karena entah kenapa proses imigrasinya cepat. Oh iya, orang Indonesia pada tahun 2014 masih bebas visa ke Maroko.
Dari bandara, saya ingat kami dijemput kenalan adik kelas saya dan kami dibawa ke hotel kami. Kalau biasa hidup di Eropa, hotel-hotel di Maroko (lebih tepatnya di Marrakesh) itu murah-murah. Harganya tidak sampai 40 euro dan kami sudah mendapatkan hotel dengan lokasi yang strategis, dekat dengan Jemaa el Fna Square. Hari pertama tiba di Marrakesh saya dan adik kelas saya langsung berkunjung ke infamous Jemaa el Fna Square. Di sana ada pertunjukan ular seperti di India, suasananya ramai sekali dipenuhi stands penjual makanan, souvenirs, dll. Siang hari yang panas terik, saya sampai menghabiskan banyak sekali jus buah yang harganya 50 dirham setara 5 euro. Lumayan mahal juga tapi what do you expect. It’s the famous Jemaa el Fna Square.
Begitu malam tiba, suasana di sekitaran Jmaa el Fnaa makin meriah. Kami duduk di restoran di sekitaran Jmaa el Fnaa, makan Salad Maroko yang ya ampun enak banget, Tagine yang enak juga dan ditaruh di alat masak yang unik sekali bentuknya, Mechoui yang merupakan domba panggang. Sayangnya, saya pernah ditipu 100 dirham cuma untuk membuat henna di tangan yang dikerjakan tidak sampai 10 menit oleh mbak-mbak lokal Marrakesh. Saya juga mencoba pijat badan yang pegel-pegel di Marrakesh dan ended up membayar hampir 500 dirham atau setara 50 euro. Tapi tidak apa-apa, sebagai turis kita harus mendukung ekonomi lokal dan hitung-hitung sedekah.
Favorit saya kalau ngemil-ngemil itu saya makan sejenis keong seperti escargot tapi direbus di salah satu stand di Jmaa el Fna. Rasanya enak sekali dan hanya 10 dirham atau setara 1 euro. Pagi-pagi saya skip sarapan gratis dari hotel dan langsung bergegas ke restoran di sekitar Jemaa el Fnaa dan memesan teh mint khas Maroko yang enak banget. Bayangkan minum teh mint hangat di udara Marrakesh yang dingin dengan pemandangan yang bagus sekali, duh saya jadi kepingin berkunjung ke Marrakesh lagi.
Selama 1 minggu di Maroko, kami menyewa tour guides lokal yang berbahasa Inggris walau seadanya. Untungnya kemampuan Bahasa Perancis saya pada saat itu sudah lumayan. Kami dibawa jalan-jalan ke lokasi syuting film-film terkenal di Aait-ben-haddou. Di sini saat matahari lagi terik-teriknya, udara sedang panas-panasnya, temperatur sekitar 40 derajat celcius. Saya sempatkan manjat-manjat naik kubah ke perumahan warga yang luar biasa loh. Rumah mereka terbuat dari tanah liat yang kalau musim panas di dalam rasanya adem, dan kalau musim dingin di dalam rasanya hangat.
Saya juga sempat menginap di Gurun Sahara. Perjalanannya, setelah turun dari mobil, langsung disambut unta-unta untuk ditunggangi, terus dibawa ke tengah gurun yang sudah ada banyak tenda mengelilingi. Dalam paket tur itu kami sudah mendapatkan makan malam dan makan pagi. Saat pertama tiba di lokasi tenda-tenda di tengah gurun itu kalau tidak salah hari sudah sore. Tentu saja saya parno sekali ya Tuhan, saya takut sekali ada ular di dalam tenda tempat tidur saya, sehingga saya hampir tidak bisa tidur. Untungnya, banyak turis main gitar, nyanyi, dan menari mengelilingi api unggun, jadinya daripada ketakutan tidak bisa tidur, saya memilih menikmati malam hari di Gurun Sahara, sambil minum teh, di depan api unggun. Nikmat sekali.
Ada beberapa tempat wisata lain yang saya lupa namanya, banyak pohon-pohon palem di sekitarnya. Sayang sekali saat itu saya tidak banyak berfoto dan mengabadikan momen dan tempat-tempat wisata yang cantik sekali di Maroko, sehingga saya lupa nama tempat-tempat itu. Tapi kalau ada kesempatan lagi untuk ke Maroko, saya harus membuat catatan nama-nama tempat dan pengalaman saya selama di sana, supaya lebih detail. Lumayan buat memory lane seperti mesin waktu.
No comments:
Post a Comment